Selasa, 20 Juli 2021

Peduli Generasi Melek Teknologi, Sadari Kehidupan Sendiri

#Internet


Gejala terakhir yang dapat kita amati pada media ‎sosial, terutama Youtube maupun media publikasi ‎yang lain, belakangan ini ada pergeseran nilai, yang ‎hampir menghalalkan segala cara untuk meraih ‎kepuasan baik secara material maupun apresiasi ‎seperti pengikut, follower, subscriber atau apapun ‎namanya.‎

Praktek yang hampir menghalalkan berbagai hal itu, ‎nampaknya kurang memperhitungkan atau bahkan ‎mengabaikan nilai-nilai atau muatan apa yang ‎sebenarnya hendak disampaikan kepada publik.‎

Tulisan ini tidak bermaksud menghakimi atau ‎memberi penilaian miring pada sebuah komunitas, ‎perseorangan atau chanel tertentu, tetapi ingin ‎menjelaskan bahwa pola-pola bergaya seperti itu, ‎seolah menjadi lumrah dan hal biasa.‎

Padahal suka ataupun tidak, dirinya, keluarga, ‎lingkungan sekitar maupun masyarakat global ‎terkena dampaknya. Tatkala belakangan ini platform-‎platform video untuk publik terus melakukan upaya ‎penyaringan, dengan berbagai perubahan kebijakan, ‎tetapi karena derasnya serbuan kreator, anggap saja ‎begitu, konten-konten kurang layak, bahkan kurang ‎senonoh, masih saja memenuhi ruangan publik dunia ‎maya. ‎

Dampak terberat yang akan dihadapi oleh masyarakat ‎global tentu saja kalangan anak-anak. Sebab generasi ‎rentan itu, belum memiliki pondasi yang kuat, antara ‎mencari dan mencontoh apa yang mereka temukan ‎saat ini. Maka, tak heran bila apa yang terjadi pada ‎keadaan saat ini, dianggap oleh kelompok rentan itu, ‎sebagai norma yang wajar berlaku di masyarakat.‎

Begitu pula respon masyarakat terhadap kreasi ‎kurang etis itu. Masyarakat global memperlihatkan ‎perilaku yang lebih respon terhadap konten yang ‎mengumbar kesenangan dengan mempertontonkan ‎organ fisik sensitif, dan mengumbar emosi, termasuk ‎nge-prank. Bila dibandingkan dengan konten edukatif. ‎Atau bermuatan positif lainnya.  ‎

Respon itu dimanfaatkan oleh para kreator untuk ‎terus menyuguhkan secara eksploratif hal-hal yang ‎berkenaan dengan kecenderungan perilaku negatif ‎tadi. Alhasil, suguhan menu yang ditawarkan dan ‎tersaji di “meja makan medsos” menjadi semakin ‎menggila.‎

Fenomena ini memberi gambaran bahwa dalam ‎dinamika kehidupan sosial masyarakat, terutama ‎dalam pandangan kacamata media sosial, sekarang ‎ini, semacam ada penyakit psiko-sosial yang ‎mengidap pada kebanyakan diri kita.‎

Di sisi lain, masyarakat seluruhnya tentu memiliki ‎anggota keluarga, yang secara sadar harus menjadi ‎anggota masyarakat yang normal di kemudian hari. ‎Sehingga segala upaya pendidikan dan pembinaan ‎diproyeksikan untuk menjadikan mereka generasi ‎cemerlang dan berperadaban di masa yang akan ‎datang. Tetapi sisi-sisi kehidupan yang banyak ‎menyita perhatian masyarakat, justru sebaliknya. ‎Inilah ironi yang terjadi.‎

Nah, bila kecenderungan kurang wajar ini tetap ‎dipertahankan, alias masyarakat merespon hal-hal ‎negatif, tidak menghindarinya, sadar atau pun tidak, ‎justru kita telah membangun sebuah sistem ‎pengrusak untuk menghancurkan cita-cita yang lebih ‎mulia dan proses kehidupan generasi masa yang akan ‎datang.‎

Pada gilirannya, seolah kita sedang melepaskan diri ‎dari pertanggungjawaban akan akibat, atau dampak ‎dari segala hal konten negatif yang tersaji. Bahkan ‎memperkeruh suasana menghadapkan generasi ‎muda pada dilema psikologis yang berkepanjangan.‎

Dengan begitu, kita juga sedang melupakan bahwa ‎segala perjalanan kehidupan kita, akan menyisakan ‎bekas dan jejak-jejak. Setidaknya untuk urusan dunia. ‎Apalagi kalau dihubungkan dengan jejak-jejak yang ‎akan dipertanggungjawabkan di kemudian hari.‎

Intinya, persoalan ruang maya atau dunia internet ‎dan segala hal yang tersaji di dalamnya, tidak lebih ‎hanya media saja. Hakikatnya, apa yang terjadi pada ‎dunia maya dengan dunia nyata sama. Sama sebab, ‎akibat dan dampaknya. Bedanya hanya pada teknis, ‎karakter dan tipikal.‎

Jadi, ayo kita peduli generasi. Peduli akan konten ‎yang bernilai dan bermakna. Bukan sekedar ‎celotehan hampa.**‎

 

1 komentar: