#Internet
Gejala terakhir yang dapat kita amati pada media sosial, terutama Youtube maupun media publikasi yang lain, belakangan ini ada pergeseran nilai, yang hampir menghalalkan segala cara untuk meraih kepuasan baik secara material maupun apresiasi seperti pengikut, follower, subscriber atau apapun namanya.
Praktek yang hampir menghalalkan berbagai hal itu, nampaknya kurang memperhitungkan atau bahkan mengabaikan nilai-nilai atau muatan apa yang sebenarnya hendak disampaikan kepada publik.
Tulisan ini tidak bermaksud menghakimi atau memberi penilaian miring pada sebuah komunitas, perseorangan atau chanel tertentu, tetapi ingin menjelaskan bahwa pola-pola bergaya seperti itu, seolah menjadi lumrah dan hal biasa.
Padahal suka ataupun tidak, dirinya, keluarga, lingkungan sekitar maupun masyarakat global terkena dampaknya. Tatkala belakangan ini platform-platform video untuk publik terus melakukan upaya penyaringan, dengan berbagai perubahan kebijakan, tetapi karena derasnya serbuan kreator, anggap saja begitu, konten-konten kurang layak, bahkan kurang senonoh, masih saja memenuhi ruangan publik dunia maya.
Dampak terberat yang akan dihadapi oleh masyarakat global tentu saja kalangan anak-anak. Sebab generasi rentan itu, belum memiliki pondasi yang kuat, antara mencari dan mencontoh apa yang mereka temukan saat ini. Maka, tak heran bila apa yang terjadi pada keadaan saat ini, dianggap oleh kelompok rentan itu, sebagai norma yang wajar berlaku di masyarakat.
Begitu pula respon masyarakat terhadap kreasi kurang etis itu. Masyarakat global memperlihatkan perilaku yang lebih respon terhadap konten yang mengumbar kesenangan dengan mempertontonkan organ fisik sensitif, dan mengumbar emosi, termasuk nge-prank. Bila dibandingkan dengan konten edukatif. Atau bermuatan positif lainnya.
Respon itu dimanfaatkan oleh para kreator untuk terus menyuguhkan secara eksploratif hal-hal yang berkenaan dengan kecenderungan perilaku negatif tadi. Alhasil, suguhan menu yang ditawarkan dan tersaji di “meja makan medsos” menjadi semakin menggila.
Fenomena ini memberi gambaran bahwa dalam dinamika kehidupan sosial masyarakat, terutama dalam pandangan kacamata media sosial, sekarang ini, semacam ada penyakit psiko-sosial yang mengidap pada kebanyakan diri kita.
Di sisi lain, masyarakat seluruhnya tentu memiliki anggota keluarga, yang secara sadar harus menjadi anggota masyarakat yang normal di kemudian hari. Sehingga segala upaya pendidikan dan pembinaan diproyeksikan untuk menjadikan mereka generasi cemerlang dan berperadaban di masa yang akan datang. Tetapi sisi-sisi kehidupan yang banyak menyita perhatian masyarakat, justru sebaliknya. Inilah ironi yang terjadi.
Nah, bila kecenderungan kurang wajar ini tetap dipertahankan, alias masyarakat merespon hal-hal negatif, tidak menghindarinya, sadar atau pun tidak, justru kita telah membangun sebuah sistem pengrusak untuk menghancurkan cita-cita yang lebih mulia dan proses kehidupan generasi masa yang akan datang.
Pada gilirannya, seolah kita sedang melepaskan diri dari pertanggungjawaban akan akibat, atau dampak dari segala hal konten negatif yang tersaji. Bahkan memperkeruh suasana menghadapkan generasi muda pada dilema psikologis yang berkepanjangan.
Dengan begitu, kita juga sedang melupakan bahwa segala perjalanan kehidupan kita, akan menyisakan bekas dan jejak-jejak. Setidaknya untuk urusan dunia. Apalagi kalau dihubungkan dengan jejak-jejak yang akan dipertanggungjawabkan di kemudian hari.
Intinya, persoalan ruang maya atau dunia internet dan segala hal yang tersaji di dalamnya, tidak lebih hanya media saja. Hakikatnya, apa yang terjadi pada dunia maya dengan dunia nyata sama. Sama sebab, akibat dan dampaknya. Bedanya hanya pada teknis, karakter dan tipikal.
Jadi, ayo kita peduli generasi. Peduli akan konten yang bernilai dan bermakna. Bukan sekedar celotehan hampa.**